MENCARI ILMU

Senin, 16 Januari 2012

KELUARGA BERENCANA ( KB )


Anak Sembilan jadi semua! Ada yang jadi pengusaha,guru, dosen, dokter, insiyur, perawat dan lain-lain. sungguh hebat ya. Padahal bapaknya pegawai biasa, ibunya ibu rumah tangga, wah kalau jaman sekarang ‘no way’ lah.
Itulah ungkapan yang sekarang ini sering kita dengar, baik dalam bincang serius ataupun hanya sambil lalu. Dan memang itulah kenyataan yang terjadi sekarang. Jaman dahulu seolah mudah membesarkan anak hingga berhasil, tetapi jaman sekarang, dengan dua anak dan kedua orang tua bekerja pagi sampai malam, terkadang masih pontang-panting untuk menjadikan anak sehingga berhasil.
Apa yang sebenarnya berubah??
Perubahan pola hidup jelas, tuntutan jaman bisa juga terjadi. Sekarang banyak yang bilang jaman serba uang. Semua harus dengan uang. Punya anak tiga, motor juga harus tiga. Anak-anak sulit untuk di ajak hidup sederhana. Dan semakin banyak anak tuntutan materi semakin tinggi. Kalau pun pola keluarga berhasil menerapkan hidup sederhana, tetapi belum tentu lingkungan mendukung. Dan di situlah pengaruh pola hidup terhadap anak mulai terlihat.
Justru inilah momentum yang tepat buat kita untuk kembali menggalakkan KB. Bukan kebun binatang tetapi keluarga berencana. Berpegang pada jaman dahulu yang dianggap ‘mudah’ untuk menghidupi anak saja, KB bisa berhasil. Apalagi sekarang, seharusnya KB menjadi prioritas utama untuk dilakukan. Akan tetapi pada kenyataannya justru terbalik, kita terancam ledakan penduduk di tahun 2020. KB menuju titik kegagalan.
Dalam pelayanan harian puskesmas, sekarang kalau ada pertanyaan “ ibu punya anak berapa ?” oh anak saya baru dua. Berbeda dengan jaman dahulu saat KB menjadi primadona, jawabannya pasti “ oh anak saya sudah dua. Cukup ah bu, banyak anak belum tentu terawat dengan baik”. Itulah perubahan yang terjadi di jaman sekarang belum lagi kalau kita masuk ke daerah kategori keluarga pra KS yang rata-rata memiliki anak di atas empat.
Dan menyimak sambutan kepala kanwil BKKBN propinsi Jawa Barat dalam rakerda Kota Tasikmalaya, bahwa gerakan KB yang kita lakukan sejak dahulu mulai dilupakan. Ini terbukti jelas dari angka pertambahan penduduk yang meningkat. Menurut beliau ada beberapa ciri khas yang kebanyakan orang Indonesia mengalaminya, yaitu :
  1. Kawin muda
  2. Kawin cerai
  3. Kawin antara keluarga miskin dengan keluarga miskin
  4. Kepala keluarga tamatan SD
  5. Beban ketergantungan tinggi
Kawin muda, masih banyak orang Indonesia yang menikah di bawah usia 20 tahun, memang secara undang-undang pernikahan sudah diperbolehkan. Akan tetapi rata-rata di usia segitu selain emosi belum stabil, biasanya secara ekonomi juga masih bergantung kepada orang tua atau kalau pun sudah bekerja, masih serabutan. Sehingga pernikahan dini  ini banyak memicu terjadinya perceraian, Kemudian sebagai gambaran juga, banyak terjadi pengelompokan atau tingkatan, di mana ekomoni juga berperan dalam menentukan pernikahan.
Di kelompok menengah ke atas, banyak keluarga kaya yang menikah dengan keluarga kaya juga dengan alasan untuk meluaskan bisnisnya atau tidak mau hartanya jatuh ke tangan orang lain. Sedangkan di golongan mnengah ke bawah, banyak terjadi pernikahan dengan strata ekonomi yang sama, misalnya miskin dengan miskin, dan kebetulan juga pendidikan kepala keluarganya juga rendah, tamatan SD misalnya, yang berakibat sulit mendapatkan pekerjaaan yang layak. Dan pada akhirnya sulit untuk meningkatkan kehidupan ke taraf yang lebih layak.
Keluarga miskin rata-rata juga memiliki banyak anak, jarang yang mempunyai anak kurang dari tiga. Sehingga jika diambil satu contoh keluarga miskin dengan bapaknya tukang ojek, istri ibu rumah tangga dan memiliki anak empat, maka beban tanggungan yang harus di pikul ada enam orang ( anak empat,satu istri dan dia sendiri ). Hal itulah yang menyebabkan beban ketergantungan keluarga tinggi. Dan itu lebih mirip suatu lingkaran yang tidak berujung, jika tidak dengan tekad yang kuat dan semua aspek di rubah, maka sulit untuk mewujudkan keluarga yang mandiri dan sehat. Karena jika kebutuhan hidup primer saja belum bisa teratasi, bagaimana bisa terfikir untuk mengatasi hal-hal yang non primer.
Oleh karena itu marilah kita gemborkan kembali KB, kali ini bukan Cuma sekedar slogan, tetapi dengan kesadaran penuh konsekuansi jika terjadi kegagalan KB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar